Liputandelapan8.com, Jepang – Banyak pria di Jepang memilih untuk tetap melajang sepanjang hidup karena mereka merasa puas dengan kehidupan tanpa harus mengurusi istri dan anak. Sebagai fakta, sekitar 1/3 dari para pria di Jepang bersumpah untuk tidak menikah.
Data terbaru yang dirilis oleh Japan Population and Social Security Research Institute mengungkapkan bahwa 24 persen pria yang berusia 50-an belum pernah menikah, dibandingkan dengan 14 persen wanita dalam kelompok usia yang sama. Dalam penelitian tersebut, juga ditemukan bahwa sekitar 42% wanita dari generasi Z (Generasi Z adalah kelompok orang yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an) dan sekitar 50% pria dari generasi yang sama menyatakan bahwa mereka tidak memiliki anak. Hal ini menimbulkan keprihatinan terkait program-program jaminan sosial di negara tersebut.
“Diperkirakan bahwa pada tahun 2035, satu dari tiga pria di Jepang belum menikah. Sebelum tahun 1980-an, sebagian besar orang di negara ini telah menikah,” ungkap Mr. Arakawa.
Pergolakan ekonomi dan sosial telah memberikan kontribusi besar terhadap perubahan ini
Menurut para ahli, fluktuasi ekonomi dan perubahan dalam lingkungan sosial memiliki dampak besar terhadap pergeseran ini. Terutama, akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an mencatat pecahnya gelembung ekonomi Jepang. Selama 30 tahun berikutnya, pendapatan rata-rata secara perlahan menurun, sementara kekhawatiran finansial terkait masa depan telah menjadi salah satu alasan mengapa banyak pria enggan menikah.
Tak hanya itu, pandangan bahwa pria harus menjadi pencari nafkah setelah menikah membatasi kebebasan dalam pengeluaran finansial. Dengan tekanan dan jam kerja yang tinggi, banyak individu merasa “tidak lagi memiliki waktu untuk merasa sendiri”. Budaya di Jepang yang cenderung tidak seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi telah membentuk generasi yang merasa nyaman hidup dalam kesendirian.
Saat ini, orang Jepang dari berbagai latar belakang semakin menunjukkan preferensi untuk memiliki kebebasan pribadi daripada menjalin hubungan. Pandangan “suka hidup sendiri” yang mereka anut tidak lagi dianggap aneh atau eksentrik. Banyak kota besar di Jepang tengah mengembangkan fasilitas dan layanan yang ditujukan bagi para lajang. Fasilitas ini berupa restoran, bar, toko, hotel, dan bahkan bar karaoke khusus untuk wisatawan solo.
Survei
Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian, Mr. Arakawa menemukan bahwa hanya sekitar 30% pria Jepang yang aktif dalam urusan asmara. Dari kelompok pria lajang berusia 18-34 tahun yang diambil sampel survei, hanya 30% yang berencana untuk mencari pasangan hidup. Bahkan, 7 dari 10 pria mengaku enggan untuk menjalin hubungan asmara, yang tentu saja menghadirkan tantangan dalam membangun keluarga. Parahnya lagi, mayoritas wanita Jepang juga semakin bersikap pasif dalam hal ini.
Para ahli telah memberikan peringatan bahwa tren melajang memiliki berbagai konsekuensi yang signifikan. Salah satunya adalah terkait dengan masalah penuaan populasi dan kekurangan tenaga kerja di masa depan. Hal ini terjadi ketika angka kelahiran semakin rendah sementara usia harapan hidup semakin panjang. Namun, Pak Arakawa, seorang ahli di bidang ini, menyatakan bahwa dia tidak terlalu khawatir akan hal tersebut.
Dalam konteks perubahan sosial dan ekonomi yang terus berkembang, fenomena bahwa 1/3 pria Jepang memilih bersumpah untuk tidak menikah membawa dampak signifikan terhadap dinamika masyarakat. Keputusan para pria ini untuk tetap melajang sepanjang hidup membuka diskusi luas tentang pola hidup, nilai-nilai, dan harapan individu dalam sebuah hubungan. Apapun alasan di balik tren ini, fenomena ini akan terus menjadi cerminan dari perubahan budaya dan pandangan masyarakat di Jepang, serta dampaknya dalam jangka panjang terhadap dinamika sosial dan ekonomi negara ini.