Liputandelapan8.com, Jakarta – Sejak akhir 1940-an, manusia telah mengirim hewan ke luar angkasa untuk bereksperimen dengan efek gayaberat mikro pada makhluk hidup. Memahami bagaimana vertebrata bekerja di luar angkasa akan memiliki implikasi penting bagi masa depan umat manusia saat meninggalkan Bumi menuju tempat lain di galaksi. Sejak 1948, para ilmuwan telah mengirim banyak makhluk hidup ke luar angkasa, termasuk anjing, kera, reptil, serangga, tumbuhan, dan berbagai mikroorganisme.
Secara khusus, proyek NASA untuk mengirim 2.487 ubur-ubur ke luar angkasa dianggap paling sukses. Proyek ini merupakan bagian dari program Misi SLS-1 pertama NASA, yang dimulai pada tahun 1991. Lebih dari 2.000 ubur-ubur dikemas dalam air laut dan diluncurkan ke luar angkasa dengan pesawat ulang-alik Columbia.
Eksperimen tersebut memperoleh hasil yang tidak terduga, setelah lebih dari setengah bulan terbang mengelilingi Bumi, 2.487 ubur-ubur telah berkembang biak dengan cepat. Jumlah ubur-ubur telah mencapai lebih dari 60.000. Dibandingkan dengan tingkat reproduksi rata-rata di Bumi, tampaknya di luar angkasa, kemampuan ubur-ubur untuk bereproduksi meningkat hampir 2 kali lipat.
Saat itu, para ahli NASA sangat bersemangat tentang masa depan baru untuk eksperimen serupa. Mereka memulai rencana lain untuk menguji kesuburan spesies air lainnya di luar angkasa. Jika percobaan berhasil, mereka berharap manusia juga bisa hidup dan bereproduksi di luar angkasa. Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama, saat memantau koloni ubur-ubur, para ilmuwan melihat sesuatu yang tidak biasa.
Mendeteksi Anomali
Setelah mengembalikan ubur-ubur luar angkasa ke Bumi, mereka semua memiliki ekspresi yang sangat aneh. Artinya, mereka berenang di air laut dengan kepala tertancap ke tanah dan bergerak tanpa tujuan seperti orang “mabuk”. Tampaknya ubur-ubur ini telah menjadi “ubur-ubur bodoh” setelah kembali ke Bumi. Apa alasan sebenarnya?
Jika ubur-ubur lahir di Bumi, akan ada banyak reseptor yang mengidentifikasi medan magnet dalam bentuk kristal kalsium sulfat. Reseptor ini disimpan dalam vesikel yang mengandung sel-sel rambut sensitif. Saat mereka berubah arah, kristal kalsium sulfat akan menyelam ke dasar vesikel dan memberi sinyal ke sel rambut ke arah mana harus pergi.
Di ubur-ubur luar angkasa, reseptor yang menentukan medan magnetnya masih ada, tetapi tidak aktif. Hipotesisnya adalah bahwa reseptor ini tidak sejajar atau tidak terhubung dengan benar ke sistem saraf ubur-ubur.
Banyak spesies hewan yang berkembang biak di luar angkasa juga mencatat fenomena serupa. Ikan dan kecebong, setelah dikirim ke luar angkasa dan kembali ke Bumi, akan berenang melingkar, bukan garis lurus.
Perlu juga dicatat bahwa manusia juga memiliki cairan di telinga bagian dalam yang berfungsi mirip dengan reseptor penentu medan magnet ubur-ubur. Oleh karena itu, kemungkinan besar manusia yang dibesarkan di lingkungan tanpa gravitasi tidak akan dapat bergerak secara normal saat kembali ke Bumi. Oleh karena itu, para ahli NASA perlu melakukan lebih banyak penelitian dan eksperimen sebelum mengirim manusia ke luar angkasa.