Liputandelapan8.com, Jakarta – Cerita Tentang Desainer Wilsen Willim, tragedi Mei 1998 meninggalkan kenangan buruk bagi Wilsen Willim. Sempat menyelamatkan diri ke Singapura bersama keluarga, ia kembali ke Indonesia untuk meniti karier sebagai desainer. Restorasi batik lawas kini menjadi perhatiannya. Wilsen masih berusia sekitar lima tahun ketika kerusuhan berdarah pecah di beberapa kota besar di Jakarta pada 14 Mei 1998. Warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran kebrutalan para perusuh.
“Usia yang sangat seram ya untuk berada di Jakarta as a Chinese,” kenang Wilsen.
Kondisi tersebut lantas memaksa keluarga Wilsen untuk mencari tempat yang aman di luar Indonesia. Singapura menjadi satu-satunya pilihan terdekat.
Namun, Wilsen bukan berasal dari keluarga yang berada. Mereka tidak bisa berangkat sekaligus berbarengan akibat keterbatasan finansial.
Akhirnya, Wilsen dan kakaknya berangkat lebih dulu. Mereka pun harus hidup terpisah dari orangtuanya. Sang ibu sementara waktu memilih tinggal di Batam sebelum menyusul.
Ia mengambil jurusan fine art di Nanyang University
Hampir semua masa tumbuh kembangnya hingga beranjak remaja dihabiskan di Singapura. Masuk ke bangku kuliah, ia mengambil jurusan fine art di Nanyang University.
Di tengah perjalanan, rasa bimbang mengusik benaknya. Muncul keraguan bilamana jurusan tersebut cocok baginya sehingga ia memutuskan untuk berubah haluan.
Dari seni murni, Wilsen mengubah haluan ke desain mode. Ia mengaku, selama dunia fashion selalu memengaruhi setiap karyanya semasa kuliah.
“Tapi aku sadar (masalahnya) bukan fine art, tapi Singapura yang kurang cocok buatku. Aku sebagai seniman tidak bisa bebas berekspresi, karena hidup di sana terlalu robotic dan tersistematis di sana,” katanya.
Ia mendalami ilmu mode Raffles College Singapura sebelum akhirnya pindah ke Jakarta dan melanjutkan studinya di institusi yang sama.
Di sela kuliah, ia berpartisipasi di kompetisi Bazaar Asia NewGen Fashion Award Indonesia 2016 dan keluar sebagai pemenang. Pengalaman tersebut semakin meyakinkannya untuk menggeluti profesi desainer.
“Sejak itu, brand Wilsen Willim berdiri,” kata Wilsen yang mempresentasikan koleksi berkonsep ramah lingkungan untuk lomba tersebut.
Bakat Wilsen sebagai desainer semakin terasah. Kepiawaiannya menciptakan busana yang edgy dengan pendekatan tailoring menjadi kekuatan sang desainer.
Terlepas dari itu, perjalanan Wilsen tak selamanya mulus. Jenamanya terancam bubar setelah rekan bisnisnya yang ikut mendirikan memutuskan untuk mengudurkan diri. Permasalahan yang lebih personal semakin memperkeruh suasana.
Menyadarkannya untuk belajar mandiri tanpa bergantung pada orang lain
Satu-satunya cara untuk mempertahankan bisnisnya, ia merelakan sejumlah harta untuk sang ‘mantan’. Sebuah keputusan yang tak disesali Wilsen karena lebih menyadarkannya untuk belajar mandiri tanpa bergantung pada orang lain dan belajar lebih realistis ketimbang idealis.
“For the first time in my life, aku sangat mendengarkan apa yang orang butuhkan. Kalau dulu kan idealisme, kita semua mau menjadi Commes des Garcons. Tapi kita lupa, di balik keglamoran, ada si pemakai,” ujar Wilsen yang sempat bergabung dengan tim desain GoodsDept pada masa awal kariernya.
Pencerahan tersebut turut mengubah cara pandang Wilsen dalam melihat kesuksesan. Tersadarkan oleh perkataan sang kakak, ia merasa berhasil jika karyanya bisa menjangkau semua bentuk tubuh perempuan.
Bagi Wilsen, inspirasi terbesar juga datang dari sang ibu yang setia mendukung. Ia menuturkan, ibunya hingga saat ini belum pernah kembali ke Jakarta karena masih dihantui rasa trauma. “Tapi Mamahku tetap support dengan pilihanku untuk berkarier di sini,” tambah Wilsen.
Detail kincir yang selalu menghiasi karyanya menjadi cara Wilsen untuk merayakan kedekatan mereka. Ia teringat semasa kecil kerap menghabiskan waktu bersama ibunya dengan membuat kerajinan dari kertas lipat.
Setahun terakhir, batik dan tenun kerap menghiasi karya pria yang belum lama ini dikukuhkan sebagai anggota Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI). Di JF3 Fashion Festival 2023, ia mempersembahkan koleksi yang terbuat dari benang denim bekas yang kemudian diolah dengan teknik tenun khas Garut.
Sementara itu, batik Cirebon juga menjadi primadona di rancangannya yang menemani penampilan selebriti seperti Maudy Ayunda. Wilsen mengaku, tidak pernah terbayangkan bakal menggarap kain-kain tradisional.
Semuanya berawal dari seorang klien yang meminta Wilsen untuk membuatnya busana dari batik. Dari situ, ia bertemu dengan pihak seperti Warisan Budaya Indonesia (WBI) dan Yayasan Batik Indonesia (YBI) yang menaruh perhatian pada upaya pelestarian wastra, termasuk batik.
Batik lawas itu sarat dengan garis tipis sangat sulit untuk dibuat
Sejak itu, ia mulai termotivasi untuk menggarap kain tradisional. Lebih dari itu, kepeduliannya bahkan mendorong Wilsen untuk merestorasi kain-kain lawas.
“Batik reminds me of fine art. Kalau seniman tahu yang namanya garis tipis, dan batik lawas itu sarat dengan garis tipis yang menurutku sangat sulit untuk dibuat. Aku nggak bisa membayangkan untuk membuat garis setipis itu butuh kesabaran tingkat tinggi,” katanya.
Belum lama ini, ia membeli sebuah kain batik lawas. Menurut seorang klien yang juga pakar batik, kain tersebut merupakan batik kombinasi cap dan tulis dari Sumatera yang usianya diperkirakan sekitar 60-70 tahun sehingga terbilang langka.
Saking tuanya, kondisi kain sudah sangat ringkih. “Ditusuk pakai jari saja bisa langsung bolong,” katanya.
Berbekal ilmu fine arts semasa kuliah, Wilsen mencoba menyelamatkan kain tersebut. “Waktu kuliah, kami belajar cara merestorasi lukisan tua yang usianya bisa mencapai ratusan tahun,” tambahnya.
Dalam hal kain lawas, proses restorasi yang dilakukan Wilsen antara lain mengaplikasikan kain pelapis, melakukan pengeleman, atau menambal area yang rusak dengan bordir atau detail beading. Kain pun terlihat baru. “Pasti ini ide yang cukup liar, tapi patut dicoba. Sekolah fine art jadi tidak terbuang sia-sia. Tetap terpakai,” katanya sembari tertawa.